Rantai Nilai (Value Chain) Perusahaan Penerbangan

Flouris dan Walker (2005) meneliti tingkat efisiensi dan produktivitas dari perusahaan penerbangan low cost dibanding low sertnces dari sampel 49 perusahaan penerbangan dunia, yang terdiri 21 perusahaan penerbangan di Eropa dan Rusia, 11 perusahaan penerbangan di Kanada dan Amerika Utara, 8 perusahaan penerbangan di China dan Asia Utara, 7 perusahaan penerbangan di Asia Pacific, serta 2 perusahaan penerbangan di Afrika dan Timur Tengah, hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan penerbangan low cost lebih efisien dibandingkan dengan f uli Services.


Rantai Nilai (Value Chain) Perusahaan Penerbangan

Dalam operasinya perusahaan penerbangan memberikan sebuah rantai nilai (value chain) kepada para penumpang dalam proses pelayanannya hingga tiba di bandara tujuannya. Proses layanan tersebut terbagi dalam empat tahap seperti diringkas pada Tahapan Proses Layanan Penerbangan (Abraham, 1983; Ritchie et.al, 1980).


Pada penjelasan tersebut tampak bahwa tahapan proses layanan penerbangan terdiri atas:

  1. Pre-journey yang merupakan proses layanan kepada penumpang sebelum melakukan penerbangan. Hal ini bisa meliputi informasi jadwal, rute penerbangan, reservasi atau pemesanan tiket;
  2. Pre-fligbt merupakan layanan kepada penumpang yang akan memulai melakukan penerbangan. Pada tahap ini, aktivitas dimulai dengan pekerjaan di bandar udara yang meliputi: check-in, baggage checking, ruang tunggu/lounge, dan boarding. Perusahaan penerbangan dalam memberikan layanan sangat bergantung pada fasilitas dan infrastruktur yang ada di bandar udara;
  3. In-flight atau onboard merupakan layanan yang diberikan kepada para penumpang saat melakukan penerbangan. Layanan itu meliputi seat width, leg room, cabin and seat cleaning, food sendee, information and reading service, restroom sendee, dan cabin crew service.
  4. Post-flight yaitu merupakan layanan yang diberikan kepada para penumpang setelah selesai penerbangan. Pelayanan itu meliputi baggage retrieval, connection flight information, lost baggage handling, dan complains management.
Selanjutnya, dari rangkaian nilai layanan yang diberikan kepada penumpang dapat disusun rantai nilai perusahaan penerbangan tersendiri dengan memodifikasi model value chain sampai efisien dan berkualitas. Pada layanan ini tampak perhatian dan peran aktif berinovasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha penerbangan (Porter, 1986; Frankc, 2007).
Berdasarkan penelitian terhadap rantai nilai bisnis dan wawancara dengan beberapa perusahaan penerbangan (Garuda, Mandala, Lion Air, dan Air Asia Indonesia), INACA Indonesia, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Indonesia, maka dapat digambarkan rantai nilai bisnis penerbangan pada gambar di atas. Rantai nilai bisnis penerbangan terbagi dalam dua elemen utama, yaitu aktivitas utama (Primary actiinties) dan aktivitas pendukung (Support Activities).

Pengaruh langsung perubahan lingkungan industri di setiap daerah operasional terhadap kinerja bisnis dapat dijelaskan dalam paradigma structure-conduct-pefformance (SCP) yang menyebutkan bahwa perubahan atas struktur lingkungan industri pada setiap wilayah akan berdampak langsung pada kinerja bisnis (Scherer, 1980; Miller dan Clarkson 1983). Lebih lanjut, paradigma SCP menjelaskan hubungan antara struktur pasar seperti rasio konsentrasi industri dan regulasi memengaruhi perilaku usaha, seperti penetapan harga, dan akhirnya perilaku ini akan memengaruhi kinerja (Porter, 1980, 1981).
Pada perkembangannya, paradigma SCP bersifat statis dan tidak mampu menjelaskan beberapa fenomena perusahaan (cabang/ station) yang memiliki kinerja berbeda dalam kondisi lingkungan industri yang berubah. Salah satu alasan dari kelemahan SCP adalah tidak memakai konsep strategic behaviour dalam analisis persaingan perusahaan dan tidak menampung dinamika pasar antarwaktu (Smith, et al., 2007). Selanjutnya muncul paradigma environment-strategy-perj'ormance (ESP) yang bersifat dinamis; dan memberi peran pada strategic behaviour yang menjelaskan bahwa perilaku strategi perusahaan ditentukan oleh pengaruh berbagai perubahan lingkungan eksternal yang luas. Bukan hanya pada industri, strategi perusahaan perlu diarahkan secara lebih tepat untuk mencapai kinerja yang diharapkan (e.g. Bourgeis III, 1980, 1983; Dess dan Millcr, 1993; Portcr, 1996, 1998). Smith et al. (2007) dan Chakravarthy (1997) menjelaskan bahwa strategic behaviour merupakan pengembangan lebih lanjut kerangka pemikiran Porter yang mengubah paradigma SCP yang sempit dan linier menjadi model yang lebih dinamik dan melibatkan banyak faktor dan partisipan pada pasar. Selanjutnya, beberapa perusahaan penerbangan di Indonesia mengadopsi istilah cabang/station (Station / Distrik/ braneh-office).

Alamdari, 2007), sensitivitas penumpang terhadap harga (Toh, et al., 1986). Selanjutnya, dalam rangka mengembangkan bisnis penerbangan, misalnya frekuensi penerbangan atau mengembangkan rute baru, pengembangan layanan pre-fligbt, cabang selalu mengkaji bagaimana potensi permintaan udara pada daerah operasional, segmen yang dipilih, dan perilaku penumpang pada wilayah tersebut. Secara singkat, aspek pasar pada wilayah menjadi sangat kompleks dan dinamis, dan dengan masuknya beberapa perusahaan penerbangan baru mendorong persaingan pada daerah menjadi dinamis.