Paradigma Environment-Strategy Performance (ESP)

Paradigma Environment-Strategy Performance (ESP)


Industri penerbangan dunia termasuk di Indonesia berkembang luar biasa. Industri penerbangan Indonesia misalnya selama periode 2000-2008 bertumbuh lebih dari 20% per tahun. Inilah yang membuat beberapa perusahaan penerbangan di Indonesia dapat berkembang dan bertumbuh. Namun, dalam kondisi yang demikian justru terjadi sebuah paradoks. Tidak sedikit perusahaan penerbangan yang mengalami kerugian dan sulit menutup biaya operasinya (Airtine Business, 2008).
Keadaan itu dilatarbelakangi antara lain oleh ketidakpastian lingkungan industri ini yang sangat tinggi sehingga perusahaan sulit merespons secara memadai (Doganis, 2006).

Melalui berbagai studi teoretis dan dari pengalaman empiris menyimpulkan perubahan lingkungan perlu diadaptasi melalui orientasi strategi. Paradigma inilah yang dibahas secara mendalam dalam environment strategy performance atau ESP. ESP yang menjelaskan, bahwa perubahan lingkungan perlu diadaptasi melalui orientasi strategi untuk berkinerja secara berkelanjutan (Miles & Snow 1978; Desarbo et al., 2005). Namun, paradigma ESP mengindikasikan perusahaan tidak akan mampu bertahan dengan single strategy terhadap lingkungan yang turbulance. Namun, beberapa perusahaan penerbangan yang berhasil surtnve dan berkembang, dan telah mengembangkan model bisnis berbasis inovasi (Franke, 2007). Akan tetapi, studi tentang peran inovasi dalam model ESP masih parsial (O’Regan Ghobadian, 2005; Blumentritt & Danis, 2006). Dengan kata lain model memerlukan multiresponse (memerlukan inovasi) agar perusahaan bisa memiliki kinerja.
Secara teoretis, pada umumnya paradigma ESP ini menjelaskan bahwa strategi yang dirumuskan untuk mencapai kinerja yang diinginkan, harus memperhatikan atau menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang dihadapi (Glueck, 1980; Lenz, 1980; Dess, 1994; Ansoff, 1982; Aaker, 1988; Sapp dan Smith, 1984).

Kajian manajemen strategik secara lengkap yang melibatkan environment-strategy-performance (ESP), pernah dilakukan oleh Smith dan Grimm (1987) yang memfokuskan pada railroad deregulation. Di samping itu, Venkatraman dan Prescott (1990) menguji proposisi penting dalam manajemen strategik yakni dampak positif terhadap kinerja dari adanya co-atignment antara lingkungan dan strategi. Tan dan Litschert (1994) yang mengkaji pada industri elektronik di China, dan Ramaswamy et al. (1994) yang menguji pada industri penerbangan tentang co-atignment antara internal dan eksternal perusahaan.

Meskipun paradigma ESP pada beberapa tahun terakhir ini, banyak mendapat kritik dan mengalami pengujian ulang (e.g. Venkatraman, 1989; Desarbo ct al., 2005), namun dari beberapa studi empiris, menunjukkan masih adanya dukungan fakta perilaku strategi atau lebih spesifik orientasi strategi berperan signifikan dalam merespons ketidakpasdan lingkungan dan meningkatkan kinerja (Tan dan Ijstchert, 1994; Luo dan Pcng 1999; Hitt et al., 1982; Prcscott, 1986; Covin dan Slcvin, 1989; Ramaswamy ct al., 1994; Desarbo et al., 2005). Lebih lanjut fit antara orientasi strategi dan keddakpastian lingkungan akan menghasilkan kinerja yang baik (Covin dan Slcvin, 1989; Conant et al., 1990, Ramaswamy, 1997).

Hasil penelitian pada industri penerbangan dan beberapa industri jasa lainnya menunjukkan bahwa konsistensi dan fit antara ketidakpastian lingkungan eksternal dan pilihan orientasi strategi perusahaan penerbangan adalah dalam tipologi prospecter, analyser; defender, dalam rangka untuk menghasilkan kinerja yang baik (e.g. Covin dan Slevin, 1989; Conant ct al., 1990; Tan dan Tan, 2005). Lebih spesifik, orientasi strategi defender perusahaan penerbangan menghasilkan kinerja yang lebih baik dengan dinamika lingkungan yang dircgulasi (Ramaswamy et al., 1994). Temuan lebih lanjut pada industri penerbangan menunjukkan kapabilitas knowledge management yang dimiliki perusahaan penerbangan memengaruhi perubahan dalam orientasi strategi, yang kemudian memengaruhi kinerja perusahaan (Goll et al., 2007).

Pengertian Orientasi Strategi


Dalam literatur manajemen strategi ada pemisahan yang jelas antara area strategi tingkat korporat (corporate level strategy) dan strategi pada level bisnis (business level strategy) (Thompson, 2007). Berbagai kajian teori dan penelitian yang fokus pada strategi di level bisnis mengadopsi pada dua pilar utama Thompson, 2007), yaitu: Strategi Generik Porter dan tipologi orientasi strategi Miles dan Snow (e.g. Kim dan Lim, 1988; Luo dan Park, 2004; Tan dan I dtschert, 1994; Covin dan Slevin, 1989; Desarbo et al., 2005; Blumentritt dan Danis, 2006, etc).

Strategi bisnis dikarakteristikkan sebagai cara perusahaan memutuskan untuk bersaing (Morgan dan Strong, 2003). Sedangkan, strategi corporate berisi fokus utama yang memusatkan atas hasil dari keputusan strategis dan cara di mana isi strategi bisnis telah diterapkan di dalam perusahaan dengan berbagai cara menguraikannya (Kalmann dan Cyert, 1973) seperti: kecocokan strategi (strategic fit), kecenderungan strategis (Strategic predisposition), pilihan strategis dan orientasi strategi lebih umum lainnya (Zajac dan Shor-tell, 1989; Barnett dan Burgelman, 1996; Morgan dan Strong, 2003; Boyd et al., 2005).

Konsep orientasi strategi biasa digunakan untuk memprediksi kinerja perusahaan (firni)/strategic business unit melalui pola interaksi yang eksplisit dari perusahaan dengan lingkungan eksternal atau industri (Miles dan Snow, 1978; Mintzberg, 1978). Miles dan Snow (1978) menggambarkan orientasi strategi sebagai suatu cara pengelompokan pengambilan keputusan untuk sebuah tindakan manajerial atau proses manajerial (termasuk kapabilitas) dengan lingkungan (Desarbo et al., 2005).
Setiap organisasi memilih target pasar yang dikuasai dan mengembangkan produk dan layanan yang dimiliki melalui penguasaan pengambilan keputusan yang didukung oleh keputusan tepat organisasi dalam hal teknologi, struktur dan proses (Miles dan Snow, 1978). Untuk mencapai penguasaan dan posisi perusahaan yang kuat di lingkungan persaingan yang ketat manajemen memiliki kebebasan untuk memilih tipe strategi yang digunakan untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
Perspektif formulasi strategi sudah banyak digunakan dalam penelitian tentang peranan orientasi strategi, untuk menguji ketepatan antara kondisi lingkungan eksternal dan kondisi organisasi dalam merumuskan strategi (Ginsbcrg dan Vcnkataman, 1985; James dan Hatten, 1995; Homburg et al., 1999; Zhou et al, 2005; Jantunen, 2008).

Orientasi strategi Miles dan Snow sebagai tipe strategi bisnis (Rajagopalan, 1996; Rogers dan Bamford, 2002) yang selanjutnya disebut sebagai tipologi. Tipologi diidentifikasi sebagai sistem formulasi strategi yang memudahkan analisis lingkungan dan penentuan sikap kerja organisasi (Rajagopalan, 1996; Rogers dan Bamford, 2002). Lebih lanjut, pilihan atas tipologi orientasi strategi (Strategic choice) dikembangkan untuk mengetahui pilihan perusahaan dalam memilih orientasi strategi sebagai bentuk respons terhadap ketidakpastian lingkungan (e.g. Segev, 1987; Moore, 2005; Hoque, 2004). Tipe-tipe strategi yang digunakan organisasi dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan menggunakan kerangka kerja P-A-D-R yang dikembangkan oleh Miles dan Snow (1978) yaitu: Prospector, Analysgr, Defender dan Reactor (Desarbo et al., 2005).

Ketiga permasalahan tersebut yang digunakan untuk menjelaskan orientasi strategi, yang pada akhirnya dapat menjelaskan perilaku dan pilihan orientasi strategi perusahaan. Rata-rata dari setiap pengukuran dari indikator tersebut dapat digunakan untuk menentukan perilaku dan sikap perusahaan dalam orientasi strategi (Covin dan Slevin, 1989; Venkatraman, 1989; Green et al., 2008).
Masalah entrepreneurial akan menentukan pilihan domain pasar dan produk perusahaan. Sebuah perusahaan baru, masalah entrepreneurial merupakan titik tolak bagi perusahaan untuk mendefinisikan domain perusahaan, misalnya: spesifikasi produk dan layanan, target pasar dan segmentasinya (Miles dan Snow, 1978). Masa sekarang dan masa yang akan datang masalah entrepreneurial merupakan dimensi penting bagi tumbuh kembangnya sebuah perusahaan. Sikap dan penyelesaian terhadap masalah tersebut akan berdampak pada bagaimana perusahaan mampu mengatasi dan bersikap terhadap masalah engineering/tecbnical dan administratif. Lebih lanjut Miles dan Snow (1978) menjelaskan bahwa solusi atas permasalahan entrepreneur menyangkut masalah komitmen top manager terhadap sumber daya eksternal dan internal perusahaan. Komitmen tersebut digunakan untuk mengembangkan citra perusahaan tentang di mana dan bagaimana memilih pasar dan orientasi yang digunakan perusahaan (Green et al., 2008).

Covin dan Slevin (1989) menyatakan sikap entrepreneurial yang tinggi membantu bagaimana perusahaan lebih agresif menangkap peluang dan mengatasi perubahan lingkungan. Keadaan sebaliknya bahwa perusahaan titik tertentu lebih memilih konservatif dalam melihat peluang dan perubahan lingkungan. Sikap agresivitas perusahaan terhadap peluang (entrepreneurial dibandingkan konservatif) akan sangat ditentukan sejauh mana perusahaan berani mengambil risiko terhadap sikap dan tindakan perusahaan terhadap peluang dan perubahan lingkungan (e.g. Covin dan Slevin, 1989; Venkatraman, 1989;