Komunikasi Strategi Pemasaran Bisnis Dengan Tepat

Strategi Desain 

Bagian ini menguraikan fase perkembangan awal desain toko hingga desain sebagai bagian dari pelaksanaan sebuah strategi bisnis. Di sini terdapat eksplorasi baik oleh pemilik desain maupun pihak lain yang berkepentingan untuk mengidentifikasi lebih lan|ut konsep desain sesuai strategi bisnisnya.

Fokus pada tahap ini adalah identifikasi desain yang akan diusulkan dan kemudian diwujudkan pada tahap selanjutnya. Pada bab ini dibahas pula desain yang berhubungan dengan strategi bisnis pihak manajemen secara keseluruhan. Karena strategi bisnis terencana dalam sebuah taktik, maka desain merupakan salah satu wujud nyata taktik tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan dan pesaing dari industri sejenis.



KEGIATAN RITEL

Kegiatan ritel merupakan kegiatan penjualan barang dan jasa kepada para konsumen untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau rumah tangga. Peritel tradisional memiliki aspek tampak, yaitu berupa toko (ritel berbasis toko), dan aspek tidak tampak yang tidak berupa toko (ritel berbasis non-toko).

Ritel merupakan tahap terakhir dalam suatu saluran distribusi bisnis barang dan jasa dari produsen kepada konsumen. Dalam hal ini, peritel berperan sebagai perantara bagi produsen dan konsumen.

Ritel memiliki karakteristik khusus, yaitu rata-rata transaksi penjualannya berskala kecil, konsumen akhir acap kali melakukan pembelanjaan yang tidak terencana, dan konsumen harus "ditarik" ke toko.

SITUASI & PERILAKU BELANJA PADA SEBUAH RITEL

Situasi dan perilaku belanja pada sebuah lingkungan ritel harus Anda pahami, terutama jika nanti Anda berhubungan dengan berbagai aspek, seperti alasan orang ingin berbelanja, tahap perilaku belanja, dan tipe pembelanja.

Motivasi Berbelanja

Ada dua latar belakang yang mendasari motivasi para pengunjung untuk di toko, yaitu motivasi personal yang berasal dari dalam diri sendiri dan untuk kepentingan diri sendiri serta motivasi sosial yang lebih berorientasi pada kebutuhan untuk bersosialisasi. 

Beberapa motivasi personal yang melatarbelakangi kegiatan berbelanja:

  • Peran dalam keluarga. Peran seseorang dalam keluarga bisa jadi merupakan salah satu alasan untuk berbelanja. Dalam masyarakat telah terbentuk beberapa stereotipe, misalnya seseorang dengan peran sebagai ibu akan berbelanja berbagai bahan kebutuhan keluarga. Sehingga secara rutin pada setiap minggu ia akan berbelanja ke pasar atau ke supermarket untuk memenuhi kebutuhan ini.
  • Melepaskan diri dari rutinitas. Kehidupan masa kini, dengan berbagai kesibukan yang mengimpit, menyebabkan kebutuhan diri untuk keluar dari rutinitas semakin besar. Kegiatan berbelanja dapat dianggap sebagai salah satu aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melihat barang baru di etalase, mencoba beberapa menu baru di restoran, hingga membeli produk baru adalah beberapa hal yang biasa dilakukan untuk melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan.
  • Mempelajari tren baru. Mengikuti berbagai tren yang berubah dengan cepat adalah salah satu alasan berbelanja. Dengan berbelanja, kita dapat mempelajari informasi baru, misalnya tren produk, spesifikasi produk, dan pengalaman berbelanja yang dirancang unik oleh para peritel.
  • Aktivitas fisik. Saat ini dengan berbagai tugas rutin, masyarakat perkotaan sulit untuk menyempatkan diri melakukan aktivitas fisik. Dengan berbelanja dan berkeliling di pusat-pusat perbelanjaan, pengunjung bisa dibilang melakukan aktivitas fisik yang berguna untuk kesehatan. Bahkan tidak sedikit pengelola mal yang cukup tanggap dengan keinginan pengunjung untuk melakukan aktivitas fisik di mal mengadakan kerja sama dengan penyedia jasa pusat kebugaran.
  • Stimulasi pancaindra. Dengan berbelanja di mal, pengunjung akan dimanjakan oleh suasana yang menyenangkan. Kunjungan ke mal biasanya memberikan perasaan yang berbeda karena pengunjung memperoleh stimulasi pada berbagai pancaindra, mulai dari mata dengan berbagai tatanan interior yang menarik, kulit dengan temperatur yang diatur konstan dan berada pada rentang suhu yang nyaman, dan pendengaran dengan musik yang menyenangkan.

Selain motivasi personal seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat pula motivasi sosial seperti di bawah ini.

Sosialisasi dan bermasyarakat


Dengan kunjungan ke mal, bermacam hal dapat dikerjakan sebagai aktualisasi kegiatan sosialisasi dan bermasyarakat, di antaranya bertemu dengan rekan-rekan lain yang memiliki hobi sejenis, misalnya memelihara binatang kesayangan, bermain catur tiongkok, hobi karaoke, dan lain-lain. Tak jarang pengelola mal menyikapinya dengan menyediakan tempat untuk mewadahi aktivitas itu sekaligus meramaikan mallnya dengan acara-acara dari komunitas semacam ini. Hal lain yang sangat disukai oleh pengunjung di wilayah Asia adalah adanya proses tawar menawar pada toko-toko tertentu. Proses menawar adalah proses interaksi yang menyenangkan bagi sebagian pengunjung. Dengan aktivitas ini tak jarang pula terjalin keakraban antara penjual dan pembeli. Bagi pengunjung, hal ini juga merupakan salah satu kegiatan sosialisasi.

Simbol status dan kekuasaan

Bagi pengunjung tertentu, berbelanja adalah sarana aktualisasi diri. Hal ini sering dilakukan oleh kalangan menengah ke atas. Dengan berbelanja, kebutuhan akan gaya hidup bergengsi dapat dipenuhi. Para peritel tidak menutup mata akan hal ini. Tak jarang peritel yang memiliki toko bagi kalangan atas menyediakan layanan premium khusus untuk memberikan keistimewaan yang lebih personal.

Tahap Perilaku Berbelanja

Selain memahami motivasi berbelanja, sebaiknya pemilik toko, desainer interior, dan manajer toko menganalisis situasi untuk mengindentifikasi perilaku, kognisi, dan afeksi konsumen yang relevan, serta faktor-faktor lingkungan yang penting. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan strategi pemasaran dan memfasilitasi serta memelihara perilaku berbelanja yang telah terbentuk.

Situasi dibangun atau didefinisikan oleh seseorang yang melakukan tindakan di suatu lingkungan untuk tujuan tertentu. Assael (1992) mendefinisikan pengaruh situasional sebagai kondisi sementara yang terjadi dalam lingkungan pada waktu dan tempat yang spesifik. Sedangkan Peter dan Olson (1999: 274) mengemukakan bahwa situasi merupakan urutan perilaku yang diarahkan oleh tujuan, bersama-sama dengan tanggapan afektif dan kognitif serta berbagai macam lingkungan di mana perilaku berbelanja tersebut muncul. 

3. Situasi membeli (Purchasing situation)

Dalam situasi membeli terdapat rangsangan sosial dan fisik lingkungan tempat konsumen melakukan pembelian. Dalam beberapa kasus, lingkungan pembelian mirip dengan lingkungan berbelanja.

Di beberapa toko, lingkungan pembelian didesain sedemikian rupa sehingga berbeda dengan lingkungan berbelanja. Pemasar biasanya tertarik untuk memengaruhi perilaku konsumen dalam situasi pembelian, yaitu pada saat konsumen memilih produk sampai melakukan transaksi.

Banyak penelitian menemukan bahwa interior secara umum, tata letak yang jelas, serta tempat pembelian yang mengundang akan memengaruhi perilaku konsumen untuk mendekat atau menjauh dari toko, menghabiskan waktu dalam lingkungan belanja, dan membeli.

4. Situasi konsumsi (Consumption situation)

Situasi konsumsi dipengaruhi faktor sosial dan fisik lingkungan tempat konsumen menggunakan atau mengonsumsi produk atau jasa yang mereka beli. Untuk produk seperti perlengkapan rumah tangga, pakaian, mobil, dan perabot rumah tangga, pemilik toko dan pemasar hampir tidak memiliki kontrol langsung atas situasi konsumsinya karena produk itu dibawa dari lingkungan peritel dan dikonsumsi di tempat lain atau di rumah. Dalam berbagai kasus, lingkungan konsumsi dapat berubah selama waktu pemakaian produk, dan hal ini dapat memengaruhi tanggapan kognisi dan afeksi yang berkaitan dengan konsumsi dan perilaku belanja. Hal terbaik yang dapat dilakukan pemasar adalah memantau tingkat kepuasan konsumen dan perilaku belanja selama waktu pemakaian produk.

5. Situasi membuang (Disposition situation)

Untuk produk dengan spesifikasi habis pakai, situasi ini merupakan tahap terakhir. Situasi ini sangat relevan untuk bisnis tertentu, misalnya toko barang bekas atau konsumen menyumbangkan barang bekas untuk kegiatan sosial.

Situasi ini menarik untuk diteliti karena situasi pembuangan relevan dengan isu-isu yang berhubungan dengan kebijakan publik (Belk, Russel W., John Sherry and Melanie Wallendorf, dalam Peter dan Oison, 1999:282).

Tipe-tipe pembelanja


Selain lingkungan berbelanja, tipe pembelanja juga harus diamati oleh para peritel. Pada penelitian Hu dan Jasper (2004), terdapat lima tipe pembelanja. Dalam penelitian ini pembelanja diminta menentukan tipe tertentu pada dirinya sendiri (sel/described shopper type):

1. Pembelanja utilitarian (Utilitarian shopper)

Pembelanja utilitarian berbelanja sesuai kebutuhan. Mereka memandang bahwa berbelanja haruslah memenuhi tujuannya utamanya (Barbin, Darden, Griffin, 1994). Pembelanja tipe ini tidak menghendaki pengalaman baru. Mereka telah mengetahui barang apa yang akan mereka beli dan memiliki perencanaan pembelian. Tak jarang, mereka juga telah mengetahui toko tujuan pembelian. Waktu berbelanja dialokasikan seefisien mungkin.

2. Pembelanja hedonis (Hedonic shopper)

Pembelanja hedonis memandang berbelanja sebagai salah satu cara mendapatkan hiburan dan pengalaman baru (Babin, Darden dan Griffin,1994). Bagi pembelanja hedonis, ada dua motivasi berbelanja: belanja bersama (social shopping), yaitu mendapatkan kesenangan bersama keluarga dan belanja gagasan (idea s hopping), yaitu mencari ide baru dalam berbelanja dengan mengeksplorasi lingkungan belanja yang baru dan mempelajari produk, jasa, dan tren baru (Amold dan Reynolds, 2003). Wanita memiliki angka persentase yang lebih tinggi sebagai pembelanja hedonis (17%) dibanding pria (5 %) menurut riset Hu dan Jasper (2004).

3. Pembelanja berdasarkan nilai (Value conscious shopper)

Pembelanja berdasarkan nilai sangat berhati-hati dalam berbelanja, dengan memeriksa ketepatan harga dan nilai terhadap kualitas produk. Mereka juga menaruh perhatian besar pada harga dan barang obral. Dalam riset, wanita dan pria memiliki persentase yang sama untuk tipe ini.

4. Pembelanja bimbang (Indecisive shopper)

Biasanya konsumen yang tidak memiliki pengalaman akan bimbang dan ragu terhadap keseluruhan barang di pasar dengan penawaran yang beragam. Mereka mudah bingung, tidak dapat memutuskan dengan cepat, dan mengalami kesulitan dengan pembelian.

5. Pembelanja Impulsif (Impulsive shopper)

Pembelanja impulsif biasanya tidak memiliki rencana pembelanjaan. Walaupun memiliki rencana, mereka seringkali melakukan pembelanjaan yang tidak terduga atau spontan.

Pemahaman akan berbagai tipe pembelanja ini penting bagi pemasar untuk menciptakan lingkungan toko yang tepat.